BUKU HADIAH UNTUK BUNDAKU JILID 3
JUDUL: MAMA MANTU
Karya baru lagi di ujung tahun 2021, buku hadiah untuk Mama Mertua saya tercinta. Dengan cover: Hadiah Untuk Bundaku Jilid 3. Persembahan special kepada Mama mantu almarhumah Mama Siti Fatmah Binti Abubakar Rera
ISBN: 9-786-024-576-622
Mama mantu, itulah
sebutan bagi ibu mertua di daerahku kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Mendengar
dua kata itu menjadi asing bagiku, lama-lama aku mengerti dan memahaminya
dengan sangat baik. Bahwa mama mantu itu memiliki kedudukan yang sama dengan
mama kandung. Agama Islam menjelaskan dengan tegas dalam Al-Qur’an, sebagai
berikut: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya. Dan,
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang miskin, tetangga yang dekat dan yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri." (QS an-Nisa [4]: 36).
Ketika siap menikah,
berarti siap menerima pasangan dan semua kondisi keluarganya. Keadaan
suami-istri dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh ridha atau murka kedua
orang tua masing-masing. Oleh karena itu, pasangan yang baik adalah yang
menganjurkan pasangannya senantiasa berbuat baik kepada kedua orang
ibu-bapaknya.
Kisah ini saya awali dari
kota kelahiranku di Surabaya, ketika saya berlayar berdua menyeberangi lautan
menuju Nusa Tenggara Timur setelah seminggu menikah dengan putra Lamakera,
Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ketika itu kapal
penumpang yang membawa kami bernama “KM Kapal Kalimutu”. Takdir manusia tak ada
yang tahu, begitupun dengan takdirku dulu, kini, dan masa yang akan datang. Aku
benar-benar tak tahu rahasia Allah untuk takdirku kelak. Hanya aku akan
bercerita tentang takdirku yang telah lalu dalam sebuah kisah inspirasi antara
aku dan mama mantuku.
Perjalanan hidupku hingga
sampai ke kota Kupang dengan menumpang KM Kalimutu, konon kapal ini merupakan
kapal penumpang yang dijadikan sebagai kapal wisata sehingga desain interiornya
menarik bagi para penumpang. Konsep yang digunakan mengusung budaya Indonesia timur
yang dipadukan dengan unsur modern. Pemilihan konsep didasari dengan pemilihan
rute kapal. Jakarta, Surabaya, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Maluku dan Papua.
Budaya yang diangkat
yaitu budaya Bali dan Papua, khususnya suku Asmat, termasuk didalamya desain
interiornya berisi lukisan dari segi kesenian, tarian, motif dan bentukan
setiap budaya. Contohnya yaitu bentukan gapura Bali dan tameng suku Asmat. Unsur
modern yang diterapkan didalam konsep yaot pengaplikasian atau transformasi
dari setiap bentukan-bentukan atau motif yang dibuat menjadi lebih sederhana.
Pada ruang kamar VIP kapal
Kalimutu terdapat bed dengan kapsitas 2 orang dengan disampingnya terdapat meja
kerja dan almari. Kamar mandi berada di hadapnya. Pada sisi dinding terdapat
railing untuk pegangan jika terjadi guncangan yang cukup kuat. Material dinding
yang digunakan yaitu rockwool wall panel yang terdiri dari 2 bagian, yaitu
bagian inti dan permukaan.
Intinya berisi rockwool
dan permukaannya berupa aluminium dengan tebal total 50 mm. Sedangkan atap
menggunakan aluminium honeycomb ceiling panel dengan inti berupa aluminium
honeycomb dan permukaan aluminium. Pada lantai menggunakan marine flame
retardant PVC flooring dengan motif parket. Material ini memiliki spesifikasi
tahan api dan air.
Kamar VIP menggunakan
adat Suku Bali sebagai temanya yang dipadukan dengan nuansa hangat ruangan
dengan penggunaan material bermotif kayu. Meja kerja pada ruangan ini juga
dapat digunakan untuk area rias dengan adanya cermin di depannya.
Itulah sekilas gambaran
kapal penumpang yang membawaku berlayar menuju Nusa Tenggara Timur. Aku dan
suami menumpang kapal selama 3 malam empat hari. Ini adalah perjalanan pertama
saya naik kapal laut yang besar menuju pulau nun jauh dari jangkauan orang tua.
Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa Nusa Tenggara Timur itu beda dengan
Surabaya. Selama dalam perjalanan menuju kota Kupang, yang terbayang dipelupuk
mata semuanya indah.
Mengapa saya berpikir
indah tentang kota Kupang?, sebab Kupang adalah ibukota provinsi Nusa Tenggara
Timur. Namanya ibukota provinsi pasti sama dengan Surabaya, sebab Surabaya juga
ibukota provinsi Jawa Timur. Ha ha ha . . . pemikiran yang sederhana,
sesederhana saya ketika itu ikut suami. Tanpa berpikir apakah nanti saya betah
tinggal di Kupang atau tidak. Ketika itu saya menjalakan komitmen saya sebagai
istri, bahwa saya akan ikut suami, kemanapun suami pergi. Bahkan ke lubang
semutpun aku ikut papa (saya memanggil suami dari masa pacaran hingga hari ini
dengan panggilan sayang Papa). Cie... cie... ke lubang semutpun saya akan ikut
suami!. Ha ha ha . . .
Perjalanan menuju NTT
dengan KM. Kalimutu, membuat saya bahagia luar biasa. Maklumlah itu perjalanan
saya yang bebas lepas dari sangkar emas. Seperti itulah saya gambarkan
perjalanan saya ketika itu. Dari anak seorang guru yang juga ketua yayasan
pendidikan Kesuma. Selama hidupnya hanya tahu jalan pulang dari rumah ke
sekolah, dari sekolah pulang ke rumah. Dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke
rumah, dan terus begitu berulang-ulang, dari rumah, sekolah, lalu balik ke sekolah
dan kembali pulang ke rumah lagi. Rutinitas yang diterapkan dalam rumah oleh
bapak almarhum Kaimin Herly Sutikno, BA kepada anak gadisnya yang cantik
jelita.
Begitu saya menikah, rasa
bahagia itu ada karena saya bebas lepas untuk bisa kemana-mana tanpa bapak
larang dan jika pulang terlambatpun bapak tak akan marah lagi. Terbukti nyata
dihadapan saya, ketika menikah saya benar-benar bagaikan burung terbang bebas.
Hingga sampai ke Nusa Tenggara Timur. Ha ha ha . . .
Itulah salah satu
kebahagiaan saya, setelah saya menikah. Hari demi hari saya lalui bersama
suami, hampir setiap hari saya jalan-jalan keliling kota Kupang dengan motor
yamaha besar milik suami. Hingga tibalah aku hamil, kebahagiaan itu tiba-tiba
sirna. Kehamilanku sangat dinanti-nanti oleh mama mantu, maklumlah suamiku anak
lelaki pertama yang keturunannya sangat diharapkan. Ketiga kakaknya semua
peremuan, Kakak Rahmah Hadji Kamaluddin, Kakah Jamalah Hadji Kamaluddin, dan
Kaka Rahmatiah Hadji Kamaluddin. Suamiku anak ke-4, satu adik lelaki bungsu namanya Abubakar Kamaluddin, saat ini tinggal di pulau dewata atau di Provinsi Bali.
Sejak saat itu, gerakanku
dibatasi karena kehamilanku. Mama mantu berperan paling banyak untuk mengatur
gerak gerik saya selama hamil. Begini tak boleh, begitu tak boleh, apa-apa tak
boleh. Ini pamali, itu pamali, semua pamali. Sejak hamil itulah gerak saya
dibatasi, dan suami termasuk lelaki yang taat kepada orang tuanya. Khususnya
mamanya, ketaatan suami kepada mamanya luar biasa, apapun yang mamanya katakan
suami ikuti. Hingga apapun yang mamanya minta dia turuti semuanya.
Sebagai perempuan kota
dan berpendidikan tinggi, saya suka tak sependapat dengan apa-apa yang mama
mantu sampaikan kepada saya juga suami. Apalagi tentang hal-hal yang pamali
bagi ibu hamil, menurut saya semua yang mama mantu sampaikan tidak ilmiah, dan
tak masuk akal pikiran saya. Karena hal ini saya mulai tak suka dengan mama
mantu yang terlalu ikut campur dan mengurus segala keperluan saya juga suami.
Konflik mulai terjadi
pada hal-hal yang kecil, diam-diam suami juga memenuhi keinginan saya untuk
jalan-jalan keliling kota Kupang. Semua yang pamali bagi orang hamil dilanggar
suami, jalan malam-malam membawa istri yang sedang hamil dilakukannya tanpa
sepengetahuan mamanya. Ketika mama tahu, pastilah mama marah. Pada akhirnya
kehamilan saya keguguran. Inilah akibat tidak menuruti nasehat orang tua. Dari
kejadian ini, saya mulai menyadari segala kesalahan saya sebagai anak mantu
yang durhaka kepada mamanya.
Kecewa luar biasa dengan
kejadian itu. Selama hampir 6 bulan, saya istirahat untuk pemulihan kondisi tubuh
dan rahim setelah melakukan curet (pembersihan dinding rahim) akibat keguguran
pada bulan ke-4. Sejak itu saya lebih banyak diam di rumah. Saya benar-benar
diam di rumah, makan dan tidur saja. Ha ha ha . . . Kegiatan bersosialisasi keluar saya lakukan di
pagi dan siang hari. Dengan melibatkan diri sebagai ketua Tim Penggerak PKK RT
17. Kebetulan suami adalah ketua RT. 17 kelurahan Namosain.
Abah Haji Kamaluddin, suami (Alauddin Hadji Kamaluddin), dan Mama mantu (Siti Fatmah Binti Abubakar Rera). Dokumen Pribadi ketika suami saya wisuda pada salah satu perguruan tinggi di kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT)
Dari kegiatan sebagai tim
penggerak PKK itulah saya tahu mama mantu saya secara keseluruhan, dan semangat
juangnya menjadi ibu juga wanita karier (Mama mantu berkarier sebagai saudagar
antar pulau dan pedagang keliling juga pedagang di pasar tradisional di Kota
Kupang, juga di Waewerang Flores Timur). Mama mantu buta aksara, tidak bisa
membaca juga menulis. Mama adalah pedagang antar pulau. Menurut cerita yang
saya dengar dari saudara juga tetangga, mama itu orang terkaya di Pulau Solor
Timur. Mereka bercerita tentang Haji Kema (Haji Kamaluddin) ayah dari suami
saya Alauddin Haji Kamaluddin, A.Md.
Bahwa keluarga suami saya
adalah orang terkaya dari penghasilan sebagai saudagar antar pulau. Saya sempat
menikmati kekayaan mama dan Abah ketika awal tiba di Kupang. Setiap mama datang
dari kampung dengan membawa 2 truk hasil dari Pulau Solor Flores Timur berupa
hasil laut juga hasil pertanian dan perkebunan yang mama dapat dari pasar
tradisional Waewerang Adonara Flores Timur.
Truk itu berisi ikan
kering, nanas, pisang, beras merah, ubi kayu, dan ubi yang lainnya, jagung
titih. Kain tenun asli motif Pulau Solor Flores Timur (Kwatak). Semua yang ada
di pasar Waewerang Adonara ada di truk yang mama bawa dari kampung. Truk itu
bukan milik mama, tetapi mama sewa ketika feri tiba di pelabuhan Bolok Kupang.
Barang dagangan mama
semua dari kampung Desa Watobuku Lamakera dan dari pasar Waewerang menyeberang
ke Lamakera, untuk di sortir dan dipilih yang terbaik. Agar barang dagangan itu
tiba di Kupang ibukota provinsi NTT tetap dalam keadaan yang baik dan cepat
laku terjual.
Desa
Watobuku Lamakera Kabupaten Flores Timur – NTT
Foto dari laut ke arah pulau desa Lamakera Watobuku Pulau Solor
Dari Lamakera, barang
tersebut naik kapal bodi ukuran besar yang dimiliki mama juga. Konon menurut
cerita mama mantu memiliki 2 kapal penyeberangan dari Larantuka ke Lamakera dan
dari Lamakera ke Larantuka ibukota Kabupaten Flores Timur. Kapal bodi adalah
kapal yang menyeberangkan penumpang dari Larantuka ke pulau-pulau kecil dan
dari desa ke desa di Flores Timur, masyarakat sekitar menyebutnya bis laut
(jika bodinya besar). Perjalanan kapal itu melintasi laut dari Larantuka, lewat
Pulau Adonara, singgah pelabuhan Podor dan Lewokaha, Lohayong, Menanga, serta
terakhir di Lamakera.
Tentang Desa Fatobuku, Lamakera, Pulau Solor Flores Timur bisa
Anda baca disini: https://www.republika.co.id/berita/pguidj385/lamakera-serambi-makkah-di-antara-selat-timor-dan-solor . Menurut keterangan dalam berita tersebut bahwa: “Orang-orang Lamakera hadir
dan menyatakan kediriannya (eksistensi) pada setiap ruang dan waktu dengan kerja.
Kerja individual dan kolektif merupakan bukti adanya keunggulan dan puncak dari
kualitas kemanusiaan orang-orang Lamakera.
Sesuai dengan
karakternya, "Orang-orang Lamakera mengukuhkan identitas kehormatan
ke-Lamakera-annya dengan membangun masjid, madrasah dan rumah suku, atau rumah
adat sebagai simbol kultural bahwa orang Lamakera adalah makhluk berbudaya”.
Aktivitas sebagai pedagang
antar pulau mama lakukan bertahun-tahun lamanya, hingga mama berpulang menuju
hari keabadiannya berjumpa sang khalik Allah Azza wa Jallah. Mama mantu adalah
wanita hebat yang luar biasa, tiada tandingannya. Keuletan dan kegigihannya
menyeberangi lautan seorang diri, menjadi inspirasi bagi saya.
Mama mantu adalah
gambaran dari tulisan dengan judul “Lamakera: Serambi Makkah Di Antara Selat
Timor dan Solor”, yang di tulis oleh MHR. Shikka Songge, Alumni IAIN Sunan
Kalijaga, Trainer Kader HMI, sebagai berikut:
Kesadaran orang-orang
Lamakera tentang negerinya yang tidak menjanjikan itu, seakan-akan selalu
memberikan perspektif dan semangat restorasi pada orang-orang Lamakera. Bahwa
orang Lamakera tidak pernah kehilangan orientasi, artinya selalu saja ada
nyali, denyut pergerakan dalam menggapai masa depan. Akal sebagai instrumen
rasionalisasi selalu hadir menjadi pisau analisis untuk membedah setiap
perkara, mengurai setiap krisis, membedah kekusutan, membuka jalan masa depan.
Agar orang Lamakera
sanggup meretaskan jalan lain mewujudkan agenda perubahan. Di tanah nun tandus
dan gersang tak bisa ditumbuhi palawija dan tanaman produktif, mengharuskan
orang Lamakera menjadikan laut biru, dan samudera luas sebagai lahan yang
berpengharapan untuk meraih impian dan menggapai cita-cita besar di masa depan.
Maka lumrahlah bila kemudian orang-orang Lamakera bergumul dan berpacu di laut
lepas samudera nun luas, melaksanakan tugas kehidupan sebagai nelayan di tengah
hempasan badai dan terpaan gelombang laut.
Laut membiru tenang,
sejuk menitip pesan keramahan dan ketawadhuan bagi orang Lamakera. Orang
Lamakera juga memiliki watak yang ramah, memiliki relasi sosial dan komitmen
sosial yang tinggi pada siapapun sepanjang itu benar dan berfaedah untuk banyak
orang.
Tanpa saya sadari, super
hero yang melekat pada diri saya adalah warisan dari mama mantu yang luar
biasa. Wanita Lamakera yang legendaris sebagai wanita pemberani dan terkaya di
desanya. Wanita yang buta huruf, tidak bisa membaca juga menulis, tetapi sangat
piawai menghitung uang dan kaya raya!. Kereeeen... Saya mengaguminya hingga
kini!. Mengenang mama mantu, meleleh air mata haru tentang perjuangan hidupnya
untuk kami semua, anak, menantu, dan para cucunya. Al-Fatehah khususan
almarhumah Mama mantu Siti Fatmah Binti Abubakar Rera, aamiin...
Teladan tentang kerasnya
hidup mama mantu hadirkan dalam setiap helaan nafasnya untuk anak-anak dan para
cucunya. Termasuk saya menantunya yang dari Jawa. Suatu kebanggaan tersendiri
bagi orang Flores memiliki menantu dari Jawa. Mama mantu begitu bangga memiliki
saya sebagai menantunya, begitupun saya bahagia menjadi bagian dari hidupnya.
Banyak sahabat masa kecil saya, yang bertanya kepada saya: “Liis, kamu kok berani banget jalan malam-malam di tengah hutan, menyeberang lautan menuju tempat tugas sendirian, apa tidak takut jika terjadi apa-apa di jalan?”. Pertanyaan seperti itu selalu muncul jika saya pulang kampung berjumpa sahabat saya dimasa kecil dan remaja dulu di Surabaya. Lalu dilanjutkan lagi, “Padahal kamu itu anak rumahan. Diajak jalan saja dulu sangat takut sekali”.
Para sahabat suka melihat tautan aktivitas perjalanan dinas lewat facebook saya Lilis Sutikno (Mbak Pipin). Salah satunya peristiwa perjalanan dinas, ketika saya ke desa Waerana, kelurahan Ronggakoe kecamatan Kota Komba. Lokasi tempat bertugas ketika itu di Biara Susteran CIJ Santa Yosef Waerana Denekat Borong. Keuskupan Ruteng. Kabupaten Manggarai Timur, kisah itu ada di sini: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4226218510778513&id=100001712161927
Saya jawab singkat, “Lain
Surabaya lain di NTT”. Ha ha ha...., begitulah cara saya menjawabnya. Sahabat
sekolah saya tidak pernah tahu, mengapa saya tidak berani macam-macam ketika
masih masa sekolah dahulu. Itu semua karena bapak yang begitu keras mendidik
saya hingga karakter itu terbentuk sempurna ketika saya dewasa.
Jika saat ini, saya keliling Nusa Tenggara Timur dalam rangka menjalankan tugas negara sebagai instruktur provinsi pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Jenjang SMP. Juga sebagai narasumber menulis daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tentang literasi dan membudayakan literasi di daerah perbatasan khusus NTT). Liputan dalam facebook saya ini bercerita bahwa menjadi hebat itu tidak harus menjadi pejabat. Tampak sambutan tuan rumah atas kedatangan saya bersama rombongan dari Provinsi ketika bertugas ke daerah: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3452990944767944&id=100001712161927
Jujur saya merasa mama
mantu juga memiliki adil sangat banyak dalam membentuk saya seperti saat ini. Pemberani
dan pandai berjualan (berdagang), dari mama mantu saya belajar kerasnya
kehidupan, belajar tentang berdagang. Hingga banyak orang disekeliling saya
berkata, jika saya pergi ke pasar untuk jualan barang dagangan diantara para
pedagang orang Jawa dan orang Solor. Mbak Lilis (sebutan orang Jawa di NTT,
jika perempuan dipanggil Mbak. Jika lelaki dipanggil Mas, berapapun usianya).
Saya melihat Mbak Lilis sama persis dengan Nenek Siti. Mama mantu bernama Siti
Fatmah Binti Abubakar Rera biasa dipanggil Nenek Siti.
Mama Siti mewariskan saya ilmu berdagang yang luar biasa kepada saya. “Tidak usah malu untuk berjualan, sebab kita tidak mencuri dan tidak melanggar ajaran agama juga tata krama dalam bermasyarakat”, katanya ketika itu. Saya melihat dari jauh bagaiman mama menawarkan barang dagangannya kepada pembeli, bagaimana cara mama meyakinkan pembeli bahwa barang dagangannya itu bagus.
Pelajaran hidup yang
tidak saya dapatkan dibangku sekolah hingga saya kuliah dan mengenakan toga
lalu di sebut sarjana!. Beda bumi dan langit antara saya dan mama mantu, beliau
wanita buta aksara yang kaya raya. Makanan selalu ada di meja terhidang dengan menu
empat sehat lima sempurna, dan dari pagi hingga malam berganti menu!. Tanpa
berkeluh kesah, dengan ikhlas tengah malam sudah bangun dan menata barang yang akan
dibawanya ke pasar, jika barang dagangan dari kampung sisa sedikit. Mama akan berjualan
keliling kampung di tetangga kiri kanan hingga sampai ke kantor lurah Namosain,
dengan berjalan tanpa alas kaki!.
Sambil berdagang itulah,
beliau bercerita kepada para pelanggannya. Bagaimana bangganya beliau memiliki
menantu saya yang dari Jawa. Menantu yang menjadi guru, dan pegawai negeri juga
yang memberikannya cucu laki-laki. Dari aktivitas sebagai tim penggerak PKK
kelurahan Namosain di bawah arahan Ibu ketua tiem penggerak PKK Ibu Noce Nus
Loa, itulah saya tahu mama secara keseluruhan dari warga di sekitar saya. Saya
tuliskan ini sambil mengenang mama dan meleleh air mata menetes pada kayboar
laptop bekas yang saya beli dari kota Solo Jawa Tengah. Mamaaa... Jasamu tiada
tara bagi kami anak-anakmu. Oh mama, I
miss you so much!.
Ilmu berdagang, nyali
sebagai penjual barang keliling, dan cara berjualan di pasar tradisional. Ketegaran,
keteguhan hati, dan pemberaninya saya adalah pelajaran yang mama mantu wariskan
kepada saya utuh-utuh tanpa dikurangi sedikitpun. Hingga menjadikan saya begitu
kuat bagaikan karang di tengah lautan. Mama Siti adalah mama mantu saya yang
super hero. Mama Siti is my isnpiration
in my life.
Catatan khusus:
Referensi tentang Lamakera dalam Youtube, bisa dilihat pada alamat di bawah ini:
Serambi Mekkah di Ufuk Timur Lamakera: https://www.youtube.com/embed/EsAu8vRb8CY
Jejak Islam Al-Ijtihat Di Ufuk Timur Lamakera, 16 Desember 2022:
DOKUMEN DIAMBIL DI LAMAKERA NOVEMBER 2022.
Semoga bermanfaat, buat anak dan cucu Bapak Haji Kamaluddin Suku Kiko Ona Lamakera.
Ibu adalah madrasah terbaik bagi anak-anaknya... Baik itu ibu kandung atau ibu mantu... buku hadiah yang tak ternilai ... sangat inspiratif...
BalasHapusTerima kasih, Ibu adalah segala-galanya...
HapusWow
BalasHapusKeren Bunda
BalasHapusTerima kasih Pak Sahat
Hapus