FEBRUARI CERIA HARI KE-3
PENDIDIKAN
BUKAN ANGKA
Buk... Buk... Assalamualaikum, Buk. Tolong
Iqbal sampaikan ke dosen wali, Iqbal tidak terlambat dalam pengumpulan lembar
jawaban tetapi kok tidak dinilai sama dosen ee. Nilai NTS itu Kinematika Dinamika
1 kelas W belum keluar nilainya. Seenaknya sendiri dosennya tidak menilai
pekerjaan Iqbal. Ini namanya tidak adil ya buk?...
“Ini
buktinya Iqbal tidak terlambat mengumpulkan lembar jawabannya. Mengerjakan juga
tepat waktu. Dosen Iqbal seenaknya sendiri, dan tidak memberikan nilai. Begini
ini bagaimana bu dengan dosen saya?...”. Begitu bunyi chat Iqbal kepada
mamanya, sambil mengirimkan bukti tugasnya ini.
Bukti memasukkan tugas |
Tugas yang dikerjakan Iqbal |
Sebagai orang tua yang jauh dari anak, dan
mereka hidup sendirian. Saya tetap tenang dan menanyakan, “Siapa nama dosennya”.
Dan meminta Iqbal segera ambil air wudhu dan sholat”. Seperti yang saya lakukan
dalam hidup saya jika mengalami masalah. Pekerjaan itulah yang menenangkan hati
dan jiwa saya.
Kepada
anak yang jauh dari jangkauan hanya itulah yang bisa saya sampaikan. Iqbal
menjawabnya singkat, “Iya buk”. Saya membalas chat Iqbal lagi, “Terus sebut
nama dosennya dan mengadu kepada Allah saja nak”. Sambil terus berkomunikasi
melalui chat WhatsApp, saya sebagai ibu dari Iqbal menanyakan, “Nama dosennya
siapa?”. Dijawab, “Sukendro BS PhD”.
Karena
tidak paham cara menjawabnya, tanpa titik dan koma, maka saya menanyakan lagi,
“BS itu gelar nya apa nama orangnya?”. Iqbal langsung mengirimkan daftar nama
dosen yang mengajarnya di kelas.
Urutan 1 nama dosennya Iqbal
Saya melihat tak ada nama seperti yang Iqbal sebutkan di atas. Sambil menanyakan kepadanya, sudah menghubungi dosennya?. Bagaimana tanggapan dosennya tentang masalah ini nak?. Iqbal menjelaskan panjang sekali dalam chat, dengan gaya bahasa anak muda yang merasa kesal diperlakukan tidak adil oleh dosennya.
Urutan 2 nama dosennya Iqbal
Iqbal
menjawab: “Sudah saya chat buk, Pak dosennya membantah alasan sistem sudah
dikunci sedangkan nilai-nilai NTS dan NAS yang lain saja belum keluar. Memang
disengaja sepertinya itu dosen, dengan alasan bilang lembar jawaban Iqbal tidak
terbaca”.
Masih
menurut versi anak muda Iqbal anak lelaki nomor empat. “Kalau tidak terbaca,
secara otomatis dia (Dosennya Iqbal) yang tahu kenapa tidak memberitahukan di group
WhatsApp (sebagai penghubung dalam pembelajaran kami) buk?. Percuma membuat groub WhatsApp kalau nggak menyampaikan hal-hal yang penting”.
Saya
membiarkan Iqbal melampiaskan rasa kesalnya dengan chat melalui WhatsApp-nya
kepada saya, sepuasnya. “Kalau begini caranya, kuliah itu ribet, lebih baik kerja
saja buk, tidak menyusahkan ibu dan bapak. Dan Iqbal tidak dikatakan anak
pemalas dan menjadi beban orang tua. Apa-apa bisa saya kerjakan sendiri, biar
gaji sedikit yang penting halal. Dari pada kuliah. Dari pada kuliah yang ada
seperti ini, percuma”.
Sebagai
orang tua, saya terkejut sekali Iqbal berkata-kata melalui chat dengan saya
seperti di atas. Saya terus memotivasi diri saya untuk sabar, dan tetap tawakal
kepada Allah. Lalu saya mulai menyampaikan segala daya dan upaya untuk membuat
Iqbal tenang. Sebab dia ada di Surabaya seorang diri saat ini. Saya ada di
Kupang sambil berlinangan air mata, memendam rasa rindu pada anak yang saat ini
sedang tidak tenang hatinya.
Sabar...
Namanya anak kuliah gitu, pasti ada ujiannya. Mama dulu juga gitu, Mama itu
statistik sampai mau pakai toga, masih mengulang terus. Tetapi, Mama sabar saja.
Bayangkan skripsi dapat lulus nilai A. Tapi statistik tidak lulus”. Ini ajaib
khan namanya?... ha ha ha... canda saya menghibur Iqbal yang sedang galau saat
ini.
“Iya-iya
ini sudag sabar bu..” jawab Iqbal. Saya melanjutkan chat dengannya, “Gara-gara
nggak bisa wisuda Mama lapor dosen wali. Terus dosen wali suruh pindah dosen”.
Setelah pindah dosen, dengan program yang sama. Alhamdulillah mama lulus, dan
pakai toga bisa wisuda tepat waktu.
Iqbal
menjawabnya: “Sudah tidak usah di bahas, kepalaku sakit buu”. Saya terus
menenangkannya dengan membalas chat WhatsApp-nya, “Tetap sabar, ambil air
wudhu, sholat, membaca Al-Qur'an niatkan untuk kebahagiaan hati Iqbal. Tidak
usah di pikir, tidak usah menjadi beban Lee” (sebutan sayang orang Jawa kepada
anak lelakinya).
Iqbal
menjawab singkat, “Iya Buk”, Mama tetap mendoakan anak-anak mama semuanya agar
Allah ridho, dan memberikan keridho’an-Nya dengan ridho yang sempurna dan
paripurna kepada semua anak-anak mama.
Dalam
keadaan seperti ini, ingatan saya langsung ke Pak Roni. Dosen galak yang baik
hati, karena HP baru di reset kemaren, semua data hilang. “Ada nomornya Pak
Roni ya?”, tanya saya kepada Iqbal. Tak lama kemudin Iqbal membalas dengan
mengirimkan nomor Pak Roni dan Bu Nia (Pegawai Tata Usaha ITATS yang asli Alor
NTT).
Dalam keadaan gundah gulana, saya selalu mengingat Allah dengan membaca Al-Qur’an. Hal yang sama saya lakukan terhadap Iqbal. “Ambil Al-Qur’an dan bacalah nak”. Saya kirimkan juga surat Al-Insyirah dari link: https://kalam.sindonews.com/surah/94/al-insyirah Dalam surat ini ada perintah Allah yang diulang dua kali, yaitu pada ayat ke-5 dan ke-6 yang artinya: "Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan".
Dan terus memberikan
penguatan iman kepada Iqbal. “Mama itu selama hidup bergantung hidup hanya
kepada Allah saja, tidak kepada siapapun juga Lee. Inilah sandaran hidup Mama
selama ini, bersama kesulitan ada kemudahan”.
Saya ketik dengan huruf
besar chat WhatsApp saya kepada Iqbal, “AMBIL
AL-QUR'AN DAN BACA. Hanya dengan mengingat Allah, maka hatimu akan tenang.
Percaya sama Mama, nggak usah diambil hati, Sabar... Sabar... Sabar... Nanti
Mama yang bicara sama Bapak, Iqbal nggak usah bicara sama Bapak. Biar itu jadi
urusan Mama”.
Mengirim pesan WhatsApp
terus saya lakukan, Perbanyak istighfar dan membaca sholawat Nabi. In Shaa
Allah ada kemudahan dalam hidup Iqbal. Tak usah berpikir masalah pekerjaan,
tugas Iqbal kuliah, dan belajar yang baik. “Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian. “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Sabar
Yo Lee...
Karena waktu cahting
telah masuk waktu sholat isya’. Saya berpamitan dengan Iqbal, “Sudah adzan
isya' Mama sholat dulu”. Iqbal menjawab singkat, “Iya buk”. Saya tinggalkan
chating sama dengan Iqbal, lalu mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat
isya’ dan chating dari hati sambil berlinangan air mata, mengadu kepada Allah
Azza wa Jalla.
Dalam uraian air mata,
dan rasa harap yang penuh kepada Allah, saya mengadukan masalah Iqbal dan
berdialog dari hati ke hati saya kepada Allah. Saya bayangkan seakan-akan Allah
ada dihadapan saya. Mendengarkan semua rasa yang menyesakkan dada seorang ibu
yang memendam rasa rindu yang begitu dalam.
Di atas sajadah panjang,
ku berdoa dengan khusyu’untuk keberhasilan anak yang sedang berjuang menuju
cita-citanya menjadi ahli tekhnik mesin. Cita-cita yang inginkan sejak Iqbal
kecil. Ketika lulus SMP Iqbal ingin melanjutkan ke STM Negeri di kota Kupang.
Saya berkeinginan lain,
sekolah di Pondok Pesantren. Sekolah teknik mesinnya setelah nanti Iqbal lulus
dari pondok. Semua saran dan nasehat saya Iqbal taati dan dikerjakan dengan
baik. Sampailah ia masuk Institut Teknik Adi Tama Surabaya.
Di atas sajadah panjang
itulah saya merefleksi diri dan mengenang kebersamaan saya bersama Iqbal kecil
dari lahir hingga tamat SMP. Setelah itu Iqbal ke Surabaya masuk Pondok
Pesantren At Tauhid, lalu kuliah. Nyaris kebersamaanku bersamanya hanya beberapa
tahun saja.
Sambil terus saya
langitkan masalah Iqbal kepada Allah, dengan berdzikir, berdoa, dan
membayangkan wajahnya yang tampan. Aku tersungkur dan bersujud menangis. Entah
apa yang aku tangisi malam itu. Iqbal kah?... Pak dosennya?, juga dosen walinya?.
Malam itu saya hanya
menyebut satu nama dosen Iqbal yaitu Pak Roni. Dosen galak yang anakku suka
padanya. Suatu hari Iqbal cerita kepada saya, “Pak Roni itu ternyata asyik di ajak
cerita Maa, beliau suka memanggil saya dan menasehati saya. Pasti Mama yang
minta ya?”. Saya hanya tersenyum saja.
Saya ambil Al-Qur’an lalu
saya baca ayat-ayatnya dengan niat, “Semua pahala membaca Al-Qur’an itu untuk
Pak Roni. Dengan harapan Pak Roni dapat membantu dan menjadi malaikat untuk
anak saya saat ini.
Selesai sholat dan
membaca Al-Qur’an, saya membuka WhatsApp lagi, fokus pada nama Iqbal saja. Ada
kiriman pesan dari Iqbal: “Coba diurus diloket bilang ikut ujian khusus,
bayarnya 175, nanti sy tinggal ngisi nilai di form. Itu saran saya untuk bantu
sampeyan. Saya rasa kalimat saya jelas”.
Lalu, “Mari buk, dosennya
bilang gitu. Gimana?... Mau balik tahun depan atau ikut itu ujian?. Saya
sedikit kaget dengan kiriman pesan terakhir dari Iqbal. Lalu saya sampaikan, “Iya,
mama sudah chat dengan Pak Roni. Nanti Pak Roni bantu sabar, Pak Roni masih di
Cepu. Kalau Mama terserah Iqbal”.
Itu tadi di atas dari Pak
dosen, Pak dosen suruh besok ke kampus, ikut ujian khusus. Bayar 175rb. Dari
sini hati saya bergetar kaget juga bercampur aduk jadi satu. Lalu saya balas
Iqbal, “Khan Iqbal yang menjalaninya. Iqbal ada uang? Beserta imote tersenyum
yang menutup bibir, he he he...
Jawab Iqbal dari
Surabaya, “Tidak ada uang, ikut itu saja ujian khusus. Jika tidak ikut itu
kembali program ulang tahun depan”. Saya memberikan solusi untuk Iqbal, “Kalau
Mama pilih balik tahun depan. Tunggu Mama konsultasi dengan Pak Roni dulu ya”.
Iqbal menjawabnya “Iya buk tidak apa-apa. Keputusan Pak Roni bagaimana, tolong
Iqbal diberitahu.
Buuk.. saya coba WhatsApp
langsung dengan Pak dosen, di jawab begini: “Jum’at diurus mas, saya sudah
bilang Hana nilainya 71”. Terus saya jawab, “Baik pak, terima kasih banyak atas
informasinya dan bantuannya kepada saya”.
Merasa masih bingung dan
terbengong-bengong, saya bertanya, “Dari siapa ini?”. Di jawab Iqbal, “”Dosennya.
Tinggal bayar saja, besok nilai keluar 71”. Saya bagiakan disambar petir di
siang hari, dan reflek menjawab, “Haaaa?
Semudah itu? Nggak pakai ujian juga? Langsung ada nilainya?”
Dari Surabaya Iqbal
menjawab, “Iya buk, Iya”, di jawab dua kali. Saya bertanya lagi, “Kenapa bisa
begitu?”. Nggak tahu, Pak Dosennya bilang, “Jum’at diurus mas, saya sudah
bilang Hana nilainya 71”. Seketika itu, saya membalas cathing Iqbal dengan
kalimat yang panjang: “Mama kok nggak suka cara kerja seperti ini Iqbal. Mama
lebih suka Iqbal berproses. Tidak instan, suatu saat Iqbal akan paham dengan
cara pandang mama tentang hal ini. Allah lebih ridho jika Iqbal berproses”.
Iqbal telepon dan
menjelaskan, “Buuuk, aku tuh sudah ikut ujian, dan tidak di nilai sama
dosennya. Iqbal sudah ikut ujiannya. Saya sudah ikut ujian bu, dosennya yang
salah. Dosennya juga tidak sampaikan kepada Iqbal, jika pekerjaan Iqbal tidak
terbaca oleh sistem”. Saya melihat mata anak saya sudah berkaca-kaca, seakan
mau menangis dan tumpah segala bebannya. Saya tak sanggup melihatnya seperti
ini, langsung video call saya matikan.
Komunikasi berlanjut
melalui WhatsApp, Iqbal menuliskan kalimat, “Iqbal sudah ikut ujian nya. Itu
juga salah dosennya buuk”. Sebagai orang tua, saya langsung balas Iqbal, “Coba
bersikap bijak... Tidak ada orang tua salah nak. Meskipun itu salah orang
tuanya. Mama ingin, Iqbal menjadi anak yang hormat kepada orang tua. Siapapun
itu, termasuk dosennya Iqbal.
Belajarlah untuk sabar
dan menghargai orang tua. Bila perlu minta maaf!. Berat untuk dilakukan Iqbal...
Tetapi Mama ingin Iqbal menjadi pribadi yang berkarakter mulia. Coba sebelum
tidur renungkan kata-kata mama ini. Kuliah bukan hanya soal nilai nak...
Kuliah bukan sekedar
angka dan bilanagan anakku sayang!. Lebih dari itu adalah kepribadian yang
mulia, akhlak yang tawadhu... Maaf jika mama terlalu idealis. Mungkin Mama
termasuk orang tua yang kuno. Orang zaman dulu yang tidak mengikuti
perkembangan zaman juga dunia IPTEK, sebab dulu mama kuliah tidak seperti Iqbal
kuliah saat ini. Tetapi Mama ini guru nak dan, mama yang Iqbal panggil ibuk
setelah Iqbal menjadi anak Jawa, selalu kerja dengan hati nak!.
Begitu panjangnya, Iqbal
tak menjawab satu katapun, dan saya terus mengirim WhatsApp untuknya. “Berharap
orang lain mengajar anak Mama seperti Mama mengajar banyak murid mama dari golongan ekonomi menengah ke bawah di desa Besmarak, begitupun saat ini mama menjadi kepala sekolah di dusun 3 Oeli'i desa Oematnunu kecamatan Kupang Barat kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur. Dan menetap di kota Kupang tempat Iqbal dilahirkan dan
dibesarkan walau hanya sampai tamat SMP saja bersama Mama di Kupang NTT, selanjutnya
Iqbal berproses dan hidup di kota metropolitan nomor 2 se-Indonesia. Dimana
Mama dulu lahir dan dibesarkan orang tua sampai menikah dengan Bapak”.
WhatsApp terus saya ketik
untuk anak yang sedang galau, tanpa saya menghiraukan apakah Iqbal paham atau
tidak. Saya menuliskan kalimat terakhir malam ini. “Renungkan hal ini nak, sebab
kelak Iqbal akan menghadapi tantangan lebih dari soal nilai dan angka-angka!”.
Saya tutup WhatsApp
sambil berlinangan air mata merenungi nasib anak saya diperlakukan tidak adil
oleh orang yang tidak saya kenal sama sekali. Beliau Pak Sukendro Broto Sasongko,
Ph.D dosen Kinematika Dinamika 1. Sambil
merefleksi sejarah saya menjadi guru selama kurang lebih 30 tahun. Semoga Iqbal
juga saya ridho, aamiin... Allahuma’aamiin...
Catatan Khusus:
1. Link mengajar di SMP Negeri 2 Nekamese di desa Besmarak:
2. Link tugas sebagai kepala SMP Negeri 3 Kupang Barat dusun 3 Oeli'i, desa Oematnunu, kecamatan Kupang Barat:
Menarik...
BalasHapusTerima kasih Bu Nurhabibah, semangat ya bu. Sukses selalu njih
HapusKeren...
BalasHapusTerima kasih sayang, semangat ya terus memberi inspirasi
HapusKaka Ikbal tahu tempat curhat ternyaman adalah dengan Bundanya, Sukses ke depannya 👍👍👍
BalasHapusHa ha ha . . . ternyaman sedunia katanya
HapusSehat-sehat selalu ya bunda yang baik..aamiin
BalasHapusAamiin... Allahuma'aamiin... Sehat selalu untuk Bu Deasy Pebriyanti
HapusIbu guru cantik...luar biasa
BalasHapusIbu Ina Nurlina juga luar biasa, semangat yaa
Hapuslanjut bu guru👍👍
BalasHapusSiap lanjutkan bu Farida, sehat selalu ya bu
HapusBagus bu
BalasHapusAlhamdulillah, semangat bu terus memberi inspirasi kepada dunia
HapusTerima kasih Bu Nyai, semangat ya bu... terus menulis dan memberi inspirasi
Hapus